Tuesday, May 22, 2012

Ibukota dan Berjejal Cerita

Beribu paragraf keluhan menghampiri kota Jakarta tanpa mengenal kata jeda. Perpaduan masalah lingkungan, sosial dan kriminal menjadi hal yang selalu diekspos dari ibukota Indonesia. Melalui kaca media, Jakarta dilihat dari satu sisi. Menyebalkan dan dirundungi oleh aura negatif. 

Namun, Gotham City milik Indonesia ini tak selamanya diikuti oleh bayangan hitam. Saya, sudah memutuskan untuk menempati kota ini untuk kurun waktu bertahun-tahun lamanya. Sudah sekitar tiga bulan saya bertatap muka dengan sang ibukota. Ungkapan "ibukota lebih kejam dari ibu tiri" tak berlaku bagi saya. Sejauh ini, saya - yang biasa menikmati kehidupan damai kota Bandung - merasa menemukan sesuatu yang lain dari kota metropolis ini.

Sebuah harta berharga, hanya bisa ditemukan oleh mereka yang tidak biasa. Dan salah satunya adalah saya. Seperti dalam kisah Kabayan Saba Ka Kota - dimana sang Kabayan beranjak jalan-jalan ke kota besar, saya pun seperti itu. Mencoba menikmati Jakarta, tak hanya dari keluh kesah yang dirasa, tetapi dari sudut yang berbeda. 

1. Keragaman di Balik Kemacetan
Mau murah ya harus mau susah. Kesimpulan itulah yang bisa saya ambil ketika memutuskan untuk menaiki kendaraan umum di Jakarta. Tak ayal lagi, kemacetan melanda di sana-sini. Beragam alasan untuk mengeluh pun senantiasa datang. Macet, panas, pengap, bis yang tak kunjung tiba hingga aroma tak sedap. Semua diksi itu mewarnai pikiran saya seketika. Lumrah, saya juga manusia. 

Tapi justru, seni melihat situasi berperan di sini. Beragam manusia dengan etnis dan pikiran berbeda, berkumpul dalam sebuah wadah bernama kendaraan umum. Berdesakan, bahkan tak pandang bulu. Termasuk salah satu tempat yang bisa mempersatukan seluruh manusia dari beragam jenis suku bangsa, etnis hingga agama berbeda. Isn't it nice?

2. Berdiam di Tengah Hutan Beton Bertulang
Jakarta juga punya hutan, tepatnya hutan beton bertulang. Bangunan menjulang tinggi dan perkasa. Belasan bahkan puluhan lantai bangunan mendominasi ibukota. Tak ayal lagi, Jakarta dipenuhi oleh pencakar langit, akibat kebutuhan akan hunian dan perkantoran yang semakin bertambah, tapi lahan semakin sedikit. Lahan hijau ditebang, berganti menjadi beton-beton bertulang.

But it's OK, coba menikmati apa yang ada dengan cara sederhana. Bunderan HI, menjadi salah satu spot yang saya senangi. Di antara belulang beton, serta lalu lalang kendaraan bermotor, saya menikmati sepinya malam. Seakan-akan saya mendengarkan dengkuran para beton menjulang di tengah meresapnya cuaca yang menusuk. Dini hari - Jakarta - hutan beton bertulang. Terasa sunyi. Dan, membuat betah. 

( bersambung )

- penceritahujan -  


No comments:

Post a Comment