Friday, February 3, 2012
Pesan dari Tuan Kumis yang Manis
Tuan Kumisnya masih istirahat dan belum bisa berjalan jauh akibat kelelahan berlebih, oleh karena itu blog perjalanan Tuan Kumis masih diambil alih oleh Nona Penceritahujan ya? Semoga berkenan :)
Gunung Padang : Batu, Sejarah dan Misteri
Seringkali orang salah mengartikan nama tempat ini. Kata “padang” yang melekat di dalamnya, sebagai sebuah tempat yang berada di kota Padang, Sumatera Barat.
Sebenarnya istilah “padang” merupakan sebuah singkatan dalam bahasa Sunda yang digunakan para warga setempat. Papadang-papadang urang, yang berarti penerang bagi kita semua. Situs Gunungpadang yang juga dikenal sebagai tempat peribadatan kuno ini memang berfungsi sebagai penerang bagi peradaban Sunda kuno kala itu.
Sebenarnya istilah “padang” merupakan sebuah singkatan dalam bahasa Sunda yang digunakan para warga setempat. Papadang-papadang urang, yang berarti penerang bagi kita semua. Situs Gunungpadang yang juga dikenal sebagai tempat peribadatan kuno ini memang berfungsi sebagai penerang bagi peradaban Sunda kuno kala itu.
***
“Panas di atas mah, cuma ada batu aja,” ujar gadis kecil berkerudung biru itu malu-malu. Bibi, demikian nama gadis kecil itu, memang benar. Gunung Padang, situs yang membentang tepat di hadapan kami, memiliki daya tarik tersendiri dengan batu-batu andesit yang bertebaran di sana. Reruntuhan purbakala yang berlokasi di perbatasan Kampung Panggulan, Desa Karyamukti, Kecamatan Cempaka, Cianjur ini memang tersohor oleh julukan situs megalithikum terbesar dan tertua di Asia Tenggara.
Bibi melangkah ringan di antara tangga terjal batu tersebut. Wajahnya tak terlihat lelah sama sekali. Bahkan sesekali ia menggenggam sebatang bunga ilalang sembari menaiki tangga curam dengan ketinggian antara 40 – 50 cm tersebut. Ia berjalan lincah tepat di sebelah suara tersengal napas kami yang sedang mencoba mendaki tangga curam tersebut. “Bibi sih tiap hari nyapu-nyapu aja di atas, beberes sampah di sana,” ujar Bibi sembari menunduk perlahan.
Begitu menapaki area pelataran sang situs purbakala, hamparan bebatuan andesit dengan posisi miring seakan tak teratur lah yang menyambut hangat kedatangan kami. Jika boleh disejajarkan, situs ini mirip dengan Stonehenge yang terdapat di Wiltshire, Inggris. Hanya bedanya, di situs Gunung Padang ini, kami jarang menemukan batu yang berdiri sempurna, bahkan keberadaannya cenderung berantakan.
“Batu-batu di sini kemiringannya memiliki sudut dengan kelipatan 5,” ujar Pak Nanang, salah seorang pria berbaju hitam yang telah menyambut kami di pintu gerbang.
“Selain itu, situs ini juga terdiri atas 5 undakan, semakin ke atas semakin mengerucut. Bahkan terdapat 5 gunung yang mengelilingi Gunung Padang dan 5 gunung pula yang sejajar dengannya.” Penjelasan pria berikat pulasara ini mengingatkan kami akan Candi Borobudur yang juga memiliki berbagai tingkatan dalam segi arsitekturnya.
Selain kisah “serba angka lima”, Gunung Padang memiliki keanehan lainnya. Terdapat beberapa batu unik yang teronggok manis di sini, salah satunya adalah batu musik, dengan ukuran menyerupai alat musik kecapi dalam gamelan Sunda. Di bagian bawah, terlihat rongga berlekuk yang menghiasi batu berwarna abu tersebut. Bila dipukul perlahan dan beraturan, layaknya gerakan tangan di atas tuts piano, batu itu akan mengeluarkan nada yang berbeda. Posisi batu-batu musik ini pun beraturan, terdapat dalam satu area.
“Mirip seperti setting panggung kalau ada acara konser, ya? Ha-ha,” kelakar salah seorang pengunjung sembari memainkan batu-batu itu perlahan.
Beranjak menaiki satu undakan dari pelataran Gunung Padang, kami pun menemui tanah lapang dengan satu area tanah yang berwarna merah. Sebuah batu unik lainnya ikut menghiasi tanah merah tersebut. “Beratnya 80 kg, konon katanya kalau bisa ngangkat sih, permintaannya dikabulkan,” ungkap Pak Nanang sambil menatap wajah penasaran kami.
Beberapa dari kami coba untuk mengangkat sang batu “bertuah”. Satu orang, dua orang, tak semua sanggup melakukannya. “Berat banget, sampai saya jatuh ketimpa batu,” sahut Rijal, salah seorang pengunjung yang tak berhasil mengangkat batu ajaib tersebut.
Sedikit kisah legenda pun turut membumbui kisah di balik terbentuknya objek wisata sejarah tersebut. Situs ini berkiblat pada Gunung Gede yang menyimbolkan keagungan Tuhan pada masa lalu. Konon, menurut warga setempat, Prabu Siliwangi, salah seorang tokoh Sunda yang masih menjadi pro kontra di kalangan sejarawan, sering bertapa di area simetris dan menjadi titik tengah antara Pantai Selatan dan Pantai Utara ini. Tak heran bila sampai detik ini masih banyak masyarakat yang berkunjung ke Gunung Padang untuk urusan peribadatan.
Legenda, tak pernah lepas dari kata misteri. Unsur mistis pun ikut menambah keunikan situs purbakala ini. “Katanya sih banyak yang mendengar musik gamelan Sunda dari sana setiap malam Jumat,” ungkap Pak Nanang.
Dari kisah misteri tersebut, terdapat pula beberapa pantangan ketika mengunjungi Situs Gunungpadang ini. “Tidak boleh mencoret-coret batu, tidak boleh membuang sampah sembarangan, dan tidak boleh memukul-mukul batu,” demikian penjelasan pria berlogat Sunda kental tersebut.
Kelak, Gunung Padang dengan luas sekitar 25 ha ini akan memiliki museum tersendiri. Menurut penduduk setempat yang menganut kepercayaan leluhur, pusaka-pusaka hasil pertapaan di Gunung Padang akan dipamerkan dalam sebuah gua yang sedang digali di antara tanah merah tersebut. Fungsinya adalah memperkenalkan kisah di balik situs purbakala yang terkenal kental akan unsur mistis ini. (***)
-penceritahujan-
Ketangkasan Domba, Warisan Budaya atau Eksploitasi Fauna?
Sama halnya dengan para gladiator di masa pemerintahan Romawi Kuno, domba-domba jantan bertanduk kekar ini saling mengadu nasib di atas lahan seluas 10 meter persegi, berpagar kayu nan kokoh. Kalung indah besar yang mereka kenakan sebagai kekang pun seakan menjadi tanda, bahwa merekalah yang pantas mendapatkan gelar juara pada kompetisi adu domba di Babakan Siliwangi, Bandung, pada Minggu (05/06) yang lalu.
Musik tradisional Sunda pun perlahan dimainkan, dan ternyata jarum jam telah menunjuk ke arah angka sembilan, pertanda saatnya pertarungan dimulai. Domba yang semula terikat pada pancang tertancap ke tanah, satu persatu dilepas, dan dihantar menuju area kompetisi.
Pertarungan tampak sangat sengit, di tengah lahan yang dijaga oleh tiga orang wasit berpakaian kampret, celana pangsi hitam dan topi koboi, suara hantaman adu kepala dan tanduk para domba ini terdengar sungguh kencang. Ancang-ancang yang berjarak sekitar 2-3 meter ini, sesuai prinsip momentum, akan menghasilkan hantaman yang sangat keras.
Sekitar dua puluh kali proses adu kepala dilakukan oleh kedua domba yang sedang bertarung, lalu dihentikan oleh wasit. Namun, seringkali beberapa “petarung” ini terlihat kepayahan dan tak sanggup menandingi kekuatan lawannya, sehingga pertandingan bisa dihentikan sewaktu-waktu. Tak jarang juga, terdengar aba-aba “perawatan” dari sang pembawa acara, dan kemudian kedua domba itu dipisahkan sementara, sekedar dipijat untuk kemudian melanjutkan pertarungan.
Meskipun kompetisi ini terbilang cukup aman karena dilindungi oleh berbagai aturan yang berlaku, tetap saja sebagian dari penonton adu domba tampak meringis ketika melihat hantaman demi hantaman timbul dalam kompetisi yang jarang terjadi ini. “Saya nggak tahan melihatnya, kasihan banget,” ujar Hani, salah seorang penonton yang ikut mengerubungi area kompetisi pagi itu.
Terlepas dari rasa iba yang timbul, budaya ketangkasan domba ini telah menjadi sebuah warisan budaya yang juga ikut melestarikan ternak domba tangkas yang berasal dari Garut, Jawa Barat. Dengan adanya kompetisi ini, otomatis para peternak di Garut memelihara dombanya dengan sangat apik, sehingga populasi domba tangkas pun kian terjaga keberadaannya.
Sayangnya, lomba ketangkasan domba ini seringkali dikaitkan dengan kegiatan negatif, karena pada sejarahnya, kegiatan yang sudah dilakukan sejak masih di bawah naungan penjajahan Belanda ini,seringkali dimanfaatkan untuk sarana perjudian. Padahal, sejak tahun 1980, kompetisi adu domba yang diubah nama menjadi ketangkasan domba ini mulai berganti perlahan menjadi sebuah ajang pertarungan mendapatkan domba yang terbaik.
Selain itu, sudah menjadi naluri seekor domba jantan untuk selalu memukul-mukulkan kepalanya, demi memperlihatkan kekuatan dan ketangkasannya. Hal tersebut melandasi para peternak domba untuk mengadakan sebuah kompetisi yang memfasilitasi sifat keseharian domba Garut ini.
Meskipun begitu, masih banyak sikap yang melenceng dari peraturan dalam sebuah kompetisi ketangkasan domba ini. Di beberapa pelosok daerah, masih banyak kegiatan adu domba yang dijadikan sarana pertaruhan uang. Selain itu, beberapa pemilik domba juga seringkali memaksakan pertarungan tetap berlangsung, meskipun kepala sang domba sudah mulai mengeluarkan darah. Hal inilah yang seharusnya ditindak lebih lanjut, dimana pemaksaan terhadap kemampuan domba tangkas pun menjadi sebuah penyiksaan.
Terlepas dari seluruh efek negatif yang timbul dari kegiatan adu ketangkasan domba ini, hiburan penuh totalitas yang kental akan budaya Sunda ini merupakan salah satu solusi tepat dari pencarian identitas bangsa yang nyaris punah.
Musik tradisional Sunda pun perlahan dimainkan, dan ternyata jarum jam telah menunjuk ke arah angka sembilan, pertanda saatnya pertarungan dimulai. Domba yang semula terikat pada pancang tertancap ke tanah, satu persatu dilepas, dan dihantar menuju area kompetisi.
Pertarungan tampak sangat sengit, di tengah lahan yang dijaga oleh tiga orang wasit berpakaian kampret, celana pangsi hitam dan topi koboi, suara hantaman adu kepala dan tanduk para domba ini terdengar sungguh kencang. Ancang-ancang yang berjarak sekitar 2-3 meter ini, sesuai prinsip momentum, akan menghasilkan hantaman yang sangat keras.
Sekitar dua puluh kali proses adu kepala dilakukan oleh kedua domba yang sedang bertarung, lalu dihentikan oleh wasit. Namun, seringkali beberapa “petarung” ini terlihat kepayahan dan tak sanggup menandingi kekuatan lawannya, sehingga pertandingan bisa dihentikan sewaktu-waktu. Tak jarang juga, terdengar aba-aba “perawatan” dari sang pembawa acara, dan kemudian kedua domba itu dipisahkan sementara, sekedar dipijat untuk kemudian melanjutkan pertarungan.
Meskipun kompetisi ini terbilang cukup aman karena dilindungi oleh berbagai aturan yang berlaku, tetap saja sebagian dari penonton adu domba tampak meringis ketika melihat hantaman demi hantaman timbul dalam kompetisi yang jarang terjadi ini. “Saya nggak tahan melihatnya, kasihan banget,” ujar Hani, salah seorang penonton yang ikut mengerubungi area kompetisi pagi itu.
Terlepas dari rasa iba yang timbul, budaya ketangkasan domba ini telah menjadi sebuah warisan budaya yang juga ikut melestarikan ternak domba tangkas yang berasal dari Garut, Jawa Barat. Dengan adanya kompetisi ini, otomatis para peternak di Garut memelihara dombanya dengan sangat apik, sehingga populasi domba tangkas pun kian terjaga keberadaannya.
Sayangnya, lomba ketangkasan domba ini seringkali dikaitkan dengan kegiatan negatif, karena pada sejarahnya, kegiatan yang sudah dilakukan sejak masih di bawah naungan penjajahan Belanda ini,seringkali dimanfaatkan untuk sarana perjudian. Padahal, sejak tahun 1980, kompetisi adu domba yang diubah nama menjadi ketangkasan domba ini mulai berganti perlahan menjadi sebuah ajang pertarungan mendapatkan domba yang terbaik.
Selain itu, sudah menjadi naluri seekor domba jantan untuk selalu memukul-mukulkan kepalanya, demi memperlihatkan kekuatan dan ketangkasannya. Hal tersebut melandasi para peternak domba untuk mengadakan sebuah kompetisi yang memfasilitasi sifat keseharian domba Garut ini.
Meskipun begitu, masih banyak sikap yang melenceng dari peraturan dalam sebuah kompetisi ketangkasan domba ini. Di beberapa pelosok daerah, masih banyak kegiatan adu domba yang dijadikan sarana pertaruhan uang. Selain itu, beberapa pemilik domba juga seringkali memaksakan pertarungan tetap berlangsung, meskipun kepala sang domba sudah mulai mengeluarkan darah. Hal inilah yang seharusnya ditindak lebih lanjut, dimana pemaksaan terhadap kemampuan domba tangkas pun menjadi sebuah penyiksaan.
Terlepas dari seluruh efek negatif yang timbul dari kegiatan adu ketangkasan domba ini, hiburan penuh totalitas yang kental akan budaya Sunda ini merupakan salah satu solusi tepat dari pencarian identitas bangsa yang nyaris punah.
- penceritahujan -
PenceritaHujan Menulis : Braga di Bawah Tanah
Sore itu, jarum jam menunjuk ke arah angka enam. Hujan baru saja reda di Jalan Braga. Jejak kaki basah masih tampak di trotoar jingga itu. Tak lama berselang, riuh langkah terdengar lagi. Remaja belasan tahun hingga turis berambut pirang memadati jalan ini kembali. Seperti studio foto terbuka, mereka mulai membidik objek foto di jajaran bangunan putih yang tampak kusam. Namun, hanya sedikit orang yang menginjakkan kakinya di depan galeri lukisan ini.
Rumah Seni Ropih. Tulisan hitam merah itu tampak menyempil di antara konstruksi bangunan bergaya kolonial ini. Selain lukisan realis yang terpajang apik di serambi depan, sebuah panel ikut menyambut saya. “Pameran Karya Indonesian Architects Week in Tokyo” demikian keterangan yang tersurat di dalamnya.
Sejauh mata memandang, saya tak menemukan satu pun karya arsitektur di dalam ruangan bernuansa putih itu. Hanya lukisan.
“Mbak, mau cari pameran arsitektur?” Seorang pria berjaket kulit datang menghampiri. Saya mengangguk pelan.
Dengan senyuman ramah, ia memberi aba-aba agar saya mengikuti langkahnya. Dia mengajak saya ke sebuah tangga kayu yang tampak penuh debu. Kira-kira, sepuluh anak tangga yang harus saya lalui untuk mencapai dasar ruangan bawah tanah tersebut. “Pamerannya ada di bawah, Mbak, coba jalan saja sampai sana,” ujarnya dengan logat Sunda yang kental.
Di balik tangga kayu tersebut, sebuah kejutan telah menanti. Seperti berada dalam dimensi yang berbeda, ruangan sepanjang 15 meter ini memukau mata saya. Panel-panel pameran karya arsitektur berjajar rapi di antara kolom-kolom bercat putih itu.
“Nggak kebayang kalau ada ruangan seperti ini di bawah tanah Jalan Braga,” ungkap Fahri, seorang mahasiswa Fakultas Komunikasi yang juga mengunjungi pameran itu.
Ruang bawah tanah yang semula berfungsi menjadi gudang penyimpanan ini tak hanya berubah menjadi ruang pameran. Di area pameran tersebut, tampak sebuah gerbang menyerupai pintu masuk gua, bertuliskan Studio Lukis dan Kabuyutan Braga. Pintu ini begitu mengundang perhatian.
Saya mengintip perlahan. Di dalam gerbang itu, terdapat sebuah meja bilik dengan buku-buku arsitek yang memenuhi permukaannya. Ruangan bernuansa putih ini menyerupai sebuah kantor, hanya bedanya tak ada papan nama seperti kantor formal pada umumnya.
Seperti jalan rahasia, ruangan tersebut tersambung dengan gerbang berikutnya. Bagai mendapat durian runtuh, kejutan bertubi-tubi kembali memanjakan mata saya. Sesaat setelah saya keluar dari ruangan kantor itu, tampak sebuah area terbuka seluas 10 meter persegi. Di sudutnya, terdapat sebuah saung bambu berhiaskan meja pendek untuk lesehan.
“Kaget kan? Bahkan di sini ada area yang berbatasan dengan sungai lho,” ujar seorang pria berkemeja hitam dengan ramah. Ia mengajak saya untuk menaiki tribun bambu yang berada di pojok kiri area terbuka ini. “Di sini juga bisa jadi tempat pertunjukan,” tambahnya dengan senyuman tipis.
Tubagus Adi, demikian nama pria berkulit sawo matang ini. Profesi arsitek yang telah ia geluti sejak tahun 1997 ini membuatnya antusias berbincang perihal Jalan Braga.
“Jalan Braga itu merupakan area yang seksi,” ungkapnya tersenyum simpul. Menurut Adi, kawasan Braga dipenuhi oleh harta karun berharga, mulai dari bangunan kolonial hingga wilayah Kampung Braga.
“Sayangnya, nggak semua orang tahu tentang kisah Jalan Braga di masa lalu, bahkan ruang ini aja jarang yang tahu,” tambah pria berkulit sawo matang itu.
Keprihatinan itu berubah menjadi ide kreatif. Adi memiliki sebuah gagasan yang sedang ia rancang perlahan. Braga sebagai museum terbuka, itulah sebuah rencana yang ia bangun setahap demi setahap.
Dengan ide inilah, Adi dan beberapa rekannya berkumpul sebagai bentuk nyata kepedulian terhadap Jalan Braga dan masa lalunya ini. Sebagai bentuk aksinya, Adi memisahkan kegiatan aktivis ini menjadi dua, Museum Braga dan Kabuyutan Braga.
“Para aktivis bakal Museum Braga ini berasal dari berbagai macam bidang, ada yang arsitek, ahli lingkungan, desainer bahkan ahli budaya sekalipun,” ungkap Adi dengan logat Sunda yang kental.
Adi menuturkan, bahwa ia ingin membuat sebuah museum terbuka di Jalan Braga. Panel-panel sejarah mengenai satu bangunan ke bangunan yang lain, membuat alur museum ini begitu kental terasa. “Terakhirnya, hasil-hasil riset akan kami letakkan di area pameran bawah tanah ini,” ujar Adi bersemangat.
Pria yang mengaku sangat tergila-gila dengan bambu ini bahkan menciptakan kantor konsultan di area bawah tanah Rumah Seni Ropih. “Saya memindahkan kantor saya agar bisa merasakan sendiri rasanya tinggal di Jalan Braga, biar lebih menjiwai.” Tawa renyah terlontar dari mulutnya.
Selain Museum Braga, Adi juga menceritakan tentang sebuah kegiatan bernama Kabuyutan Braga. Menurutnya, terdapat warisan tak tertulis yang masih dipegang oleh masyarakat masa kini. Pamali (pantangan), tradisi hingga adat istiadat tetap terjaga dalam Kabuyutan Braga ini.
“Kabuyutan Braga ditujukan untuk berkomunikasi dengan warga sekitar, yang masih memegang prinsip sauyunan atau gotong royong,” Adi menceritakan konsep Kabuyutan Braga yang sudah berlangsung sekitar satu tahun ini.
Kelak, Kabuyutan Braga akan menjadi sebuah pusat berkumpul masyarakat Bandung yang sangat mencintai kebudayaan Sunda ini. Sedikit demi sedikit Adi dan beberapa rekannya menciptakan beberapa program yang menjunjung tinggi kesenian Jawa Barat. Salah satunya adalah penampilan musisi tradisional hingga kursus membuat alat musik bambu.
Dalam perkembangannya, Adi mengungkapkan bahwa ia banyak mendapat bantuan dari seniman Ropih. “Pak Ropih ini juga sama seperti saya, mencintai kesenian Sunda, terutama alat musik yang terbuat dari bambu, makanya beliau sangat antusias dengan ide Kabuyutan Braga ini.”
“Nantinya, tim Kabuyutan Braga dan Museum Braga akan berkumpul, berunding bersama-sama demi menciptakan sebuah kesepakatan mengenai Jalan Braga,” ungkap pria lulusan Arsitek Universitas Pendidikan Indonesia ini.
Ternyata kecintaan Adi terhadap Jalan Braga ini beranjak dari kaitannya yang erat dengan sejarah kota Bandung. Menurut sejarah, awalnya Braga hanyalah sebuah jalan tanah yg dikelilingi oleh hutan karet. Kemudian, pada tahun 1800an, seorang tuan tanah Priangan, Andries de Wilde, membuat jalur untuk mengangkut hasil bumi, terutama kopi. Tempat tujuannya adalah Koffie Pakhuis yang kini menjadi Gedung Balai Kota.
Kala itu, masyarakat menggunakan pedati (kar dalam bahasa Belanda) sebagai alat angkut umum. Tak heran bila area tersebut lebih dikenal sebagai Karrenweg atau Pedatiweg.
Asal mula nama Braga diduga diambil dari ketenaran Toneelvereeniging Braga, sebuah kelompok tonil dan musik yang didirikan Asisten Residen Priangan Pieter Sijthoff pada 1882. Selain itu, dalam Bahasa Sunda ditemukan istilah ngabaraga, yang berarti berjalan di sepanjang sungai. Istilah itu sangat cocok mencerminkan keadaan Pedatiweg yang berdampingan dengan Sungai Cikapundung.
Dalam perkembangannya, Jalan Braga menjadi ramai setelah para pengusaha Belanda mendirikan toko serta tempat hiburan di sana. Di sekitar abad ke-19, jajaran toko, butik dan restoran elit berdiri dengan apik di kawasan tersebut. Bahkan, terdapat salah satu butik bernama Au Bon Marche, yang mengambil model dari Paris, Perancis. Tak salah bila nama Parijs van Java menjadi julukan bagi ibukota Jawa Barat ini.
Selain butik, kala itu toko-toko elit lainnya berderet rapi di Jalan Braga. Toko Buku Djawa, toko Onderdil Belang – toko kain berkualitas impor – hingga toko mobil pertama Hindia Belanda, Fuchs & Rents, pernah berdiri di sana.
Pada masa itu, Rumah Seni Ropih yang menjadi tempat berkumpul Tubagus Adi dan rekan-rekannya ini merupakan toko jam Stocker. Hanya arloji dan jam buatan Swiss yang bisa ditemukan di sana. Tak heran bila toko milik dua orang berkebangsaan Swiss, H.P Stocker dan P.E Huber ini, berada dalam sebuah kawasan elit kota Bandung tempo dulu.
Braga menyimpan banyak cerita di masa lalu. Perbedaan cukup drastis terjadi. Toko-toko elit ini menghilang satu per satu. Jalan aspal ditutupi oleh paving block dengan keadaan yang mudah lepas. Seharusnya, kapasitas material ini hanya dilewati oleh kendaraan ringan seperti sepeda dan pejalan kaki. Namun, jalan Braga tetap menjadi sebuah jalan protokol. Antrian mobil selalu memadati kawasan ini pada siang dan malam hari.
Selain itu, minimnya pengetahuan sejarah tentang Braga membuat kunjungan masyarakat di jalan ini terasa hambar. Kebanyakan dari masyarakat awam hanya melihat Braga sebagai objek foto saja, tanpa mendalami kisah perjalanan dari jalan yang identik dengan kota Bandung ini. Bahkan, hanya sedikit orang yang mengetahui bahwa Braga memiliki ruang bawah tanah yang bisa dimanfaatkan seperti di Rumah Seni Ropih ini.
Kisah manis dan pahit ini lah yang membuat Adi tergerak untuk menciptakan sesuatu bagi Jalan Braga. “Kalau nunggu dari yang berwenang sih belum jadi-jadi aja, nggak ada salahnya kan kita berinisiatif sendiri, menyerang Braga dengan desain!” ungkap pria yang juga bekerja untuk konsultan arsitek Arsiplan ini.
Ya, siapa yang menyangka, ruang kosong yang dicampakkan sekian lama dapat menjadi sebuah ruang publik baru bagi masyarakat Bandung. Selain itu, ternyata ruang bawah tanah yang terkesan sempit dapat mencetuskan sebuah gagasan kreatif. Mungkin saja beberapa tahun lagi, Braga tak akan dikenal sebagai seonggok jalan biasa, tetapi sebagai sebuah museum terbuka.
-penceritahujan-
Rumah Seni Ropih. Tulisan hitam merah itu tampak menyempil di antara konstruksi bangunan bergaya kolonial ini. Selain lukisan realis yang terpajang apik di serambi depan, sebuah panel ikut menyambut saya. “Pameran Karya Indonesian Architects Week in Tokyo” demikian keterangan yang tersurat di dalamnya.
Sejauh mata memandang, saya tak menemukan satu pun karya arsitektur di dalam ruangan bernuansa putih itu. Hanya lukisan.
“Mbak, mau cari pameran arsitektur?” Seorang pria berjaket kulit datang menghampiri. Saya mengangguk pelan.
Dengan senyuman ramah, ia memberi aba-aba agar saya mengikuti langkahnya. Dia mengajak saya ke sebuah tangga kayu yang tampak penuh debu. Kira-kira, sepuluh anak tangga yang harus saya lalui untuk mencapai dasar ruangan bawah tanah tersebut. “Pamerannya ada di bawah, Mbak, coba jalan saja sampai sana,” ujarnya dengan logat Sunda yang kental.
Di balik tangga kayu tersebut, sebuah kejutan telah menanti. Seperti berada dalam dimensi yang berbeda, ruangan sepanjang 15 meter ini memukau mata saya. Panel-panel pameran karya arsitektur berjajar rapi di antara kolom-kolom bercat putih itu.
“Nggak kebayang kalau ada ruangan seperti ini di bawah tanah Jalan Braga,” ungkap Fahri, seorang mahasiswa Fakultas Komunikasi yang juga mengunjungi pameran itu.
Ruang bawah tanah yang semula berfungsi menjadi gudang penyimpanan ini tak hanya berubah menjadi ruang pameran. Di area pameran tersebut, tampak sebuah gerbang menyerupai pintu masuk gua, bertuliskan Studio Lukis dan Kabuyutan Braga. Pintu ini begitu mengundang perhatian.
Saya mengintip perlahan. Di dalam gerbang itu, terdapat sebuah meja bilik dengan buku-buku arsitek yang memenuhi permukaannya. Ruangan bernuansa putih ini menyerupai sebuah kantor, hanya bedanya tak ada papan nama seperti kantor formal pada umumnya.
Seperti jalan rahasia, ruangan tersebut tersambung dengan gerbang berikutnya. Bagai mendapat durian runtuh, kejutan bertubi-tubi kembali memanjakan mata saya. Sesaat setelah saya keluar dari ruangan kantor itu, tampak sebuah area terbuka seluas 10 meter persegi. Di sudutnya, terdapat sebuah saung bambu berhiaskan meja pendek untuk lesehan.
“Kaget kan? Bahkan di sini ada area yang berbatasan dengan sungai lho,” ujar seorang pria berkemeja hitam dengan ramah. Ia mengajak saya untuk menaiki tribun bambu yang berada di pojok kiri area terbuka ini. “Di sini juga bisa jadi tempat pertunjukan,” tambahnya dengan senyuman tipis.
Tubagus Adi, demikian nama pria berkulit sawo matang ini. Profesi arsitek yang telah ia geluti sejak tahun 1997 ini membuatnya antusias berbincang perihal Jalan Braga.
“Jalan Braga itu merupakan area yang seksi,” ungkapnya tersenyum simpul. Menurut Adi, kawasan Braga dipenuhi oleh harta karun berharga, mulai dari bangunan kolonial hingga wilayah Kampung Braga.
“Sayangnya, nggak semua orang tahu tentang kisah Jalan Braga di masa lalu, bahkan ruang ini aja jarang yang tahu,” tambah pria berkulit sawo matang itu.
Keprihatinan itu berubah menjadi ide kreatif. Adi memiliki sebuah gagasan yang sedang ia rancang perlahan. Braga sebagai museum terbuka, itulah sebuah rencana yang ia bangun setahap demi setahap.
Dengan ide inilah, Adi dan beberapa rekannya berkumpul sebagai bentuk nyata kepedulian terhadap Jalan Braga dan masa lalunya ini. Sebagai bentuk aksinya, Adi memisahkan kegiatan aktivis ini menjadi dua, Museum Braga dan Kabuyutan Braga.
“Para aktivis bakal Museum Braga ini berasal dari berbagai macam bidang, ada yang arsitek, ahli lingkungan, desainer bahkan ahli budaya sekalipun,” ungkap Adi dengan logat Sunda yang kental.
Adi menuturkan, bahwa ia ingin membuat sebuah museum terbuka di Jalan Braga. Panel-panel sejarah mengenai satu bangunan ke bangunan yang lain, membuat alur museum ini begitu kental terasa. “Terakhirnya, hasil-hasil riset akan kami letakkan di area pameran bawah tanah ini,” ujar Adi bersemangat.
Pria yang mengaku sangat tergila-gila dengan bambu ini bahkan menciptakan kantor konsultan di area bawah tanah Rumah Seni Ropih. “Saya memindahkan kantor saya agar bisa merasakan sendiri rasanya tinggal di Jalan Braga, biar lebih menjiwai.” Tawa renyah terlontar dari mulutnya.
Selain Museum Braga, Adi juga menceritakan tentang sebuah kegiatan bernama Kabuyutan Braga. Menurutnya, terdapat warisan tak tertulis yang masih dipegang oleh masyarakat masa kini. Pamali (pantangan), tradisi hingga adat istiadat tetap terjaga dalam Kabuyutan Braga ini.
“Kabuyutan Braga ditujukan untuk berkomunikasi dengan warga sekitar, yang masih memegang prinsip sauyunan atau gotong royong,” Adi menceritakan konsep Kabuyutan Braga yang sudah berlangsung sekitar satu tahun ini.
Kelak, Kabuyutan Braga akan menjadi sebuah pusat berkumpul masyarakat Bandung yang sangat mencintai kebudayaan Sunda ini. Sedikit demi sedikit Adi dan beberapa rekannya menciptakan beberapa program yang menjunjung tinggi kesenian Jawa Barat. Salah satunya adalah penampilan musisi tradisional hingga kursus membuat alat musik bambu.
Dalam perkembangannya, Adi mengungkapkan bahwa ia banyak mendapat bantuan dari seniman Ropih. “Pak Ropih ini juga sama seperti saya, mencintai kesenian Sunda, terutama alat musik yang terbuat dari bambu, makanya beliau sangat antusias dengan ide Kabuyutan Braga ini.”
“Nantinya, tim Kabuyutan Braga dan Museum Braga akan berkumpul, berunding bersama-sama demi menciptakan sebuah kesepakatan mengenai Jalan Braga,” ungkap pria lulusan Arsitek Universitas Pendidikan Indonesia ini.
Ternyata kecintaan Adi terhadap Jalan Braga ini beranjak dari kaitannya yang erat dengan sejarah kota Bandung. Menurut sejarah, awalnya Braga hanyalah sebuah jalan tanah yg dikelilingi oleh hutan karet. Kemudian, pada tahun 1800an, seorang tuan tanah Priangan, Andries de Wilde, membuat jalur untuk mengangkut hasil bumi, terutama kopi. Tempat tujuannya adalah Koffie Pakhuis yang kini menjadi Gedung Balai Kota.
Kala itu, masyarakat menggunakan pedati (kar dalam bahasa Belanda) sebagai alat angkut umum. Tak heran bila area tersebut lebih dikenal sebagai Karrenweg atau Pedatiweg.
Asal mula nama Braga diduga diambil dari ketenaran Toneelvereeniging Braga, sebuah kelompok tonil dan musik yang didirikan Asisten Residen Priangan Pieter Sijthoff pada 1882. Selain itu, dalam Bahasa Sunda ditemukan istilah ngabaraga, yang berarti berjalan di sepanjang sungai. Istilah itu sangat cocok mencerminkan keadaan Pedatiweg yang berdampingan dengan Sungai Cikapundung.
Dalam perkembangannya, Jalan Braga menjadi ramai setelah para pengusaha Belanda mendirikan toko serta tempat hiburan di sana. Di sekitar abad ke-19, jajaran toko, butik dan restoran elit berdiri dengan apik di kawasan tersebut. Bahkan, terdapat salah satu butik bernama Au Bon Marche, yang mengambil model dari Paris, Perancis. Tak salah bila nama Parijs van Java menjadi julukan bagi ibukota Jawa Barat ini.
Selain butik, kala itu toko-toko elit lainnya berderet rapi di Jalan Braga. Toko Buku Djawa, toko Onderdil Belang – toko kain berkualitas impor – hingga toko mobil pertama Hindia Belanda, Fuchs & Rents, pernah berdiri di sana.
Pada masa itu, Rumah Seni Ropih yang menjadi tempat berkumpul Tubagus Adi dan rekan-rekannya ini merupakan toko jam Stocker. Hanya arloji dan jam buatan Swiss yang bisa ditemukan di sana. Tak heran bila toko milik dua orang berkebangsaan Swiss, H.P Stocker dan P.E Huber ini, berada dalam sebuah kawasan elit kota Bandung tempo dulu.
Braga menyimpan banyak cerita di masa lalu. Perbedaan cukup drastis terjadi. Toko-toko elit ini menghilang satu per satu. Jalan aspal ditutupi oleh paving block dengan keadaan yang mudah lepas. Seharusnya, kapasitas material ini hanya dilewati oleh kendaraan ringan seperti sepeda dan pejalan kaki. Namun, jalan Braga tetap menjadi sebuah jalan protokol. Antrian mobil selalu memadati kawasan ini pada siang dan malam hari.
Selain itu, minimnya pengetahuan sejarah tentang Braga membuat kunjungan masyarakat di jalan ini terasa hambar. Kebanyakan dari masyarakat awam hanya melihat Braga sebagai objek foto saja, tanpa mendalami kisah perjalanan dari jalan yang identik dengan kota Bandung ini. Bahkan, hanya sedikit orang yang mengetahui bahwa Braga memiliki ruang bawah tanah yang bisa dimanfaatkan seperti di Rumah Seni Ropih ini.
Kisah manis dan pahit ini lah yang membuat Adi tergerak untuk menciptakan sesuatu bagi Jalan Braga. “Kalau nunggu dari yang berwenang sih belum jadi-jadi aja, nggak ada salahnya kan kita berinisiatif sendiri, menyerang Braga dengan desain!” ungkap pria yang juga bekerja untuk konsultan arsitek Arsiplan ini.
Ya, siapa yang menyangka, ruang kosong yang dicampakkan sekian lama dapat menjadi sebuah ruang publik baru bagi masyarakat Bandung. Selain itu, ternyata ruang bawah tanah yang terkesan sempit dapat mencetuskan sebuah gagasan kreatif. Mungkin saja beberapa tahun lagi, Braga tak akan dikenal sebagai seonggok jalan biasa, tetapi sebagai sebuah museum terbuka.
-penceritahujan-
Subscribe to:
Posts (Atom)