Friday, February 3, 2012

Ketangkasan Domba, Warisan Budaya atau Eksploitasi Fauna?

Sama halnya dengan para gladiator di masa pemerintahan Romawi Kuno, domba-domba jantan bertanduk kekar ini saling mengadu nasib di atas lahan seluas 10 meter persegi, berpagar kayu nan kokoh. Kalung indah besar yang mereka kenakan sebagai kekang pun seakan menjadi tanda, bahwa merekalah yang pantas mendapatkan gelar juara pada kompetisi adu domba di Babakan Siliwangi, Bandung, pada Minggu (05/06) yang lalu.

Musik tradisional Sunda pun perlahan dimainkan, dan ternyata jarum jam telah menunjuk ke arah angka sembilan, pertanda saatnya pertarungan dimulai. Domba yang semula terikat pada pancang tertancap ke tanah, satu persatu dilepas, dan dihantar menuju area kompetisi.

Pertarungan tampak sangat sengit, di tengah lahan yang dijaga oleh tiga orang wasit berpakaian kampret, celana pangsi hitam dan topi koboi, suara hantaman adu kepala dan tanduk para domba ini terdengar sungguh kencang. Ancang-ancang yang berjarak sekitar 2-3 meter ini, sesuai prinsip momentum, akan menghasilkan hantaman yang sangat keras.

Sekitar dua puluh kali proses adu kepala dilakukan oleh kedua domba yang sedang bertarung, lalu dihentikan oleh wasit. Namun, seringkali beberapa “petarung” ini terlihat kepayahan dan tak sanggup menandingi kekuatan lawannya, sehingga pertandingan bisa dihentikan sewaktu-waktu. Tak jarang juga, terdengar aba-aba “perawatan” dari sang pembawa acara, dan kemudian kedua domba itu dipisahkan sementara, sekedar dipijat untuk kemudian melanjutkan pertarungan.

Meskipun kompetisi ini terbilang cukup aman karena dilindungi oleh berbagai aturan yang berlaku, tetap saja sebagian dari penonton adu domba tampak meringis ketika melihat hantaman demi hantaman timbul dalam kompetisi yang jarang terjadi ini. “Saya nggak tahan melihatnya, kasihan banget,” ujar Hani, salah seorang penonton yang ikut mengerubungi area kompetisi pagi itu.

Terlepas dari rasa iba yang timbul, budaya ketangkasan domba ini telah menjadi sebuah warisan budaya yang juga ikut melestarikan ternak domba tangkas yang berasal dari Garut, Jawa Barat. Dengan adanya kompetisi ini, otomatis para peternak di Garut memelihara dombanya dengan sangat apik, sehingga populasi domba tangkas pun kian terjaga keberadaannya.

Sayangnya, lomba ketangkasan domba ini seringkali dikaitkan dengan kegiatan negatif, karena pada sejarahnya, kegiatan yang sudah dilakukan sejak masih di bawah naungan penjajahan Belanda ini,seringkali dimanfaatkan untuk sarana perjudian. Padahal, sejak tahun 1980, kompetisi adu domba yang diubah nama menjadi ketangkasan domba ini mulai berganti perlahan menjadi sebuah ajang pertarungan mendapatkan domba yang terbaik.

Selain itu, sudah menjadi naluri seekor domba jantan untuk selalu memukul-mukulkan kepalanya, demi memperlihatkan kekuatan dan ketangkasannya. Hal tersebut melandasi para peternak domba untuk mengadakan sebuah kompetisi yang memfasilitasi sifat keseharian domba Garut ini.

Meskipun begitu, masih banyak sikap yang melenceng dari peraturan dalam sebuah kompetisi ketangkasan domba ini. Di beberapa pelosok daerah, masih banyak kegiatan adu domba yang dijadikan sarana pertaruhan uang. Selain itu, beberapa pemilik domba juga seringkali memaksakan pertarungan tetap berlangsung, meskipun kepala sang domba sudah mulai mengeluarkan darah. Hal inilah yang seharusnya ditindak lebih lanjut, dimana pemaksaan terhadap kemampuan domba tangkas pun menjadi sebuah penyiksaan.

Terlepas dari seluruh efek negatif yang timbul dari kegiatan adu ketangkasan domba ini, hiburan penuh totalitas yang kental akan budaya Sunda ini merupakan salah satu solusi tepat dari pencarian identitas bangsa yang nyaris punah.

- penceritahujan -

No comments:

Post a Comment