Sore itu, jarum jam menunjuk ke arah angka enam. Hujan baru saja reda di Jalan Braga. Jejak kaki basah masih tampak di trotoar jingga itu. Tak lama berselang, riuh langkah terdengar lagi. Remaja belasan tahun hingga turis berambut pirang memadati jalan ini kembali. Seperti studio foto terbuka, mereka mulai membidik objek foto di jajaran bangunan putih yang tampak kusam. Namun, hanya sedikit orang yang menginjakkan kakinya di depan galeri lukisan ini.
Rumah Seni Ropih. Tulisan hitam merah itu tampak menyempil di antara konstruksi bangunan bergaya kolonial ini. Selain lukisan realis yang terpajang apik di serambi depan, sebuah panel ikut menyambut saya. “Pameran Karya Indonesian Architects Week in Tokyo” demikian keterangan yang tersurat di dalamnya.
Sejauh mata memandang, saya tak menemukan satu pun karya arsitektur di dalam ruangan bernuansa putih itu. Hanya lukisan.
“Mbak, mau cari pameran arsitektur?” Seorang pria berjaket kulit datang menghampiri. Saya mengangguk pelan.
Dengan senyuman ramah, ia memberi aba-aba agar saya mengikuti langkahnya. Dia mengajak saya ke sebuah tangga kayu yang tampak penuh debu. Kira-kira, sepuluh anak tangga yang harus saya lalui untuk mencapai dasar ruangan bawah tanah tersebut. “Pamerannya ada di bawah, Mbak, coba jalan saja sampai sana,” ujarnya dengan logat Sunda yang kental.
Di balik tangga kayu tersebut, sebuah kejutan telah menanti. Seperti berada dalam dimensi yang berbeda, ruangan sepanjang 15 meter ini memukau mata saya. Panel-panel pameran karya arsitektur berjajar rapi di antara kolom-kolom bercat putih itu.
“Nggak kebayang kalau ada ruangan seperti ini di bawah tanah Jalan Braga,” ungkap Fahri, seorang mahasiswa Fakultas Komunikasi yang juga mengunjungi pameran itu.
Ruang bawah tanah yang semula berfungsi menjadi gudang penyimpanan ini tak hanya berubah menjadi ruang pameran. Di area pameran tersebut, tampak sebuah gerbang menyerupai pintu masuk gua, bertuliskan Studio Lukis dan Kabuyutan Braga. Pintu ini begitu mengundang perhatian.
Saya mengintip perlahan. Di dalam gerbang itu, terdapat sebuah meja bilik dengan buku-buku arsitek yang memenuhi permukaannya. Ruangan bernuansa putih ini menyerupai sebuah kantor, hanya bedanya tak ada papan nama seperti kantor formal pada umumnya.
Seperti jalan rahasia, ruangan tersebut tersambung dengan gerbang berikutnya. Bagai mendapat durian runtuh, kejutan bertubi-tubi kembali memanjakan mata saya. Sesaat setelah saya keluar dari ruangan kantor itu, tampak sebuah area terbuka seluas 10 meter persegi. Di sudutnya, terdapat sebuah saung bambu berhiaskan meja pendek untuk lesehan.
“Kaget kan? Bahkan di sini ada area yang berbatasan dengan sungai lho,” ujar seorang pria berkemeja hitam dengan ramah. Ia mengajak saya untuk menaiki tribun bambu yang berada di pojok kiri area terbuka ini. “Di sini juga bisa jadi tempat pertunjukan,” tambahnya dengan senyuman tipis.
Tubagus Adi, demikian nama pria berkulit sawo matang ini. Profesi arsitek yang telah ia geluti sejak tahun 1997 ini membuatnya antusias berbincang perihal Jalan Braga.
“Jalan Braga itu merupakan area yang seksi,” ungkapnya tersenyum simpul. Menurut Adi, kawasan Braga dipenuhi oleh harta karun berharga, mulai dari bangunan kolonial hingga wilayah Kampung Braga.
“Sayangnya, nggak semua orang tahu tentang kisah Jalan Braga di masa lalu, bahkan ruang ini aja jarang yang tahu,” tambah pria berkulit sawo matang itu.
Keprihatinan itu berubah menjadi ide kreatif. Adi memiliki sebuah gagasan yang sedang ia rancang perlahan. Braga sebagai museum terbuka, itulah sebuah rencana yang ia bangun setahap demi setahap.
Dengan ide inilah, Adi dan beberapa rekannya berkumpul sebagai bentuk nyata kepedulian terhadap Jalan Braga dan masa lalunya ini. Sebagai bentuk aksinya, Adi memisahkan kegiatan aktivis ini menjadi dua, Museum Braga dan Kabuyutan Braga.
“Para aktivis bakal Museum Braga ini berasal dari berbagai macam bidang, ada yang arsitek, ahli lingkungan, desainer bahkan ahli budaya sekalipun,” ungkap Adi dengan logat Sunda yang kental.
Adi menuturkan, bahwa ia ingin membuat sebuah museum terbuka di Jalan Braga. Panel-panel sejarah mengenai satu bangunan ke bangunan yang lain, membuat alur museum ini begitu kental terasa. “Terakhirnya, hasil-hasil riset akan kami letakkan di area pameran bawah tanah ini,” ujar Adi bersemangat.
Pria yang mengaku sangat tergila-gila dengan bambu ini bahkan menciptakan kantor konsultan di area bawah tanah Rumah Seni Ropih. “Saya memindahkan kantor saya agar bisa merasakan sendiri rasanya tinggal di Jalan Braga, biar lebih menjiwai.” Tawa renyah terlontar dari mulutnya.
Selain Museum Braga, Adi juga menceritakan tentang sebuah kegiatan bernama Kabuyutan Braga. Menurutnya, terdapat warisan tak tertulis yang masih dipegang oleh masyarakat masa kini. Pamali (pantangan), tradisi hingga adat istiadat tetap terjaga dalam Kabuyutan Braga ini.
“Kabuyutan Braga ditujukan untuk berkomunikasi dengan warga sekitar, yang masih memegang prinsip sauyunan atau gotong royong,” Adi menceritakan konsep Kabuyutan Braga yang sudah berlangsung sekitar satu tahun ini.
Kelak, Kabuyutan Braga akan menjadi sebuah pusat berkumpul masyarakat Bandung yang sangat mencintai kebudayaan Sunda ini. Sedikit demi sedikit Adi dan beberapa rekannya menciptakan beberapa program yang menjunjung tinggi kesenian Jawa Barat. Salah satunya adalah penampilan musisi tradisional hingga kursus membuat alat musik bambu.
Dalam perkembangannya, Adi mengungkapkan bahwa ia banyak mendapat bantuan dari seniman Ropih. “Pak Ropih ini juga sama seperti saya, mencintai kesenian Sunda, terutama alat musik yang terbuat dari bambu, makanya beliau sangat antusias dengan ide Kabuyutan Braga ini.”
“Nantinya, tim Kabuyutan Braga dan Museum Braga akan berkumpul, berunding bersama-sama demi menciptakan sebuah kesepakatan mengenai Jalan Braga,” ungkap pria lulusan Arsitek Universitas Pendidikan Indonesia ini.
Ternyata kecintaan Adi terhadap Jalan Braga ini beranjak dari kaitannya yang erat dengan sejarah kota Bandung. Menurut sejarah, awalnya Braga hanyalah sebuah jalan tanah yg dikelilingi oleh hutan karet. Kemudian, pada tahun 1800an, seorang tuan tanah Priangan, Andries de Wilde, membuat jalur untuk mengangkut hasil bumi, terutama kopi. Tempat tujuannya adalah Koffie Pakhuis yang kini menjadi Gedung Balai Kota.
Kala itu, masyarakat menggunakan pedati (kar dalam bahasa Belanda) sebagai alat angkut umum. Tak heran bila area tersebut lebih dikenal sebagai Karrenweg atau Pedatiweg.
Asal mula nama Braga diduga diambil dari ketenaran Toneelvereeniging Braga, sebuah kelompok tonil dan musik yang didirikan Asisten Residen Priangan Pieter Sijthoff pada 1882. Selain itu, dalam Bahasa Sunda ditemukan istilah ngabaraga, yang berarti berjalan di sepanjang sungai. Istilah itu sangat cocok mencerminkan keadaan Pedatiweg yang berdampingan dengan Sungai Cikapundung.
Dalam perkembangannya, Jalan Braga menjadi ramai setelah para pengusaha Belanda mendirikan toko serta tempat hiburan di sana. Di sekitar abad ke-19, jajaran toko, butik dan restoran elit berdiri dengan apik di kawasan tersebut. Bahkan, terdapat salah satu butik bernama Au Bon Marche, yang mengambil model dari Paris, Perancis. Tak salah bila nama Parijs van Java menjadi julukan bagi ibukota Jawa Barat ini.
Selain butik, kala itu toko-toko elit lainnya berderet rapi di Jalan Braga. Toko Buku Djawa, toko Onderdil Belang – toko kain berkualitas impor – hingga toko mobil pertama Hindia Belanda, Fuchs & Rents, pernah berdiri di sana.
Pada masa itu, Rumah Seni Ropih yang menjadi tempat berkumpul Tubagus Adi dan rekan-rekannya ini merupakan toko jam Stocker. Hanya arloji dan jam buatan Swiss yang bisa ditemukan di sana. Tak heran bila toko milik dua orang berkebangsaan Swiss, H.P Stocker dan P.E Huber ini, berada dalam sebuah kawasan elit kota Bandung tempo dulu.
Braga menyimpan banyak cerita di masa lalu. Perbedaan cukup drastis terjadi. Toko-toko elit ini menghilang satu per satu. Jalan aspal ditutupi oleh paving block dengan keadaan yang mudah lepas. Seharusnya, kapasitas material ini hanya dilewati oleh kendaraan ringan seperti sepeda dan pejalan kaki. Namun, jalan Braga tetap menjadi sebuah jalan protokol. Antrian mobil selalu memadati kawasan ini pada siang dan malam hari.
Selain itu, minimnya pengetahuan sejarah tentang Braga membuat kunjungan masyarakat di jalan ini terasa hambar. Kebanyakan dari masyarakat awam hanya melihat Braga sebagai objek foto saja, tanpa mendalami kisah perjalanan dari jalan yang identik dengan kota Bandung ini. Bahkan, hanya sedikit orang yang mengetahui bahwa Braga memiliki ruang bawah tanah yang bisa dimanfaatkan seperti di Rumah Seni Ropih ini.
Kisah manis dan pahit ini lah yang membuat Adi tergerak untuk menciptakan sesuatu bagi Jalan Braga. “Kalau nunggu dari yang berwenang sih belum jadi-jadi aja, nggak ada salahnya kan kita berinisiatif sendiri, menyerang Braga dengan desain!” ungkap pria yang juga bekerja untuk konsultan arsitek Arsiplan ini.
Ya, siapa yang menyangka, ruang kosong yang dicampakkan sekian lama dapat menjadi sebuah ruang publik baru bagi masyarakat Bandung. Selain itu, ternyata ruang bawah tanah yang terkesan sempit dapat mencetuskan sebuah gagasan kreatif. Mungkin saja beberapa tahun lagi, Braga tak akan dikenal sebagai seonggok jalan biasa, tetapi sebagai sebuah museum terbuka.
-penceritahujan-
Rumah Seni Ropih. Tulisan hitam merah itu tampak menyempil di antara konstruksi bangunan bergaya kolonial ini. Selain lukisan realis yang terpajang apik di serambi depan, sebuah panel ikut menyambut saya. “Pameran Karya Indonesian Architects Week in Tokyo” demikian keterangan yang tersurat di dalamnya.
Sejauh mata memandang, saya tak menemukan satu pun karya arsitektur di dalam ruangan bernuansa putih itu. Hanya lukisan.
“Mbak, mau cari pameran arsitektur?” Seorang pria berjaket kulit datang menghampiri. Saya mengangguk pelan.
Dengan senyuman ramah, ia memberi aba-aba agar saya mengikuti langkahnya. Dia mengajak saya ke sebuah tangga kayu yang tampak penuh debu. Kira-kira, sepuluh anak tangga yang harus saya lalui untuk mencapai dasar ruangan bawah tanah tersebut. “Pamerannya ada di bawah, Mbak, coba jalan saja sampai sana,” ujarnya dengan logat Sunda yang kental.
Di balik tangga kayu tersebut, sebuah kejutan telah menanti. Seperti berada dalam dimensi yang berbeda, ruangan sepanjang 15 meter ini memukau mata saya. Panel-panel pameran karya arsitektur berjajar rapi di antara kolom-kolom bercat putih itu.
“Nggak kebayang kalau ada ruangan seperti ini di bawah tanah Jalan Braga,” ungkap Fahri, seorang mahasiswa Fakultas Komunikasi yang juga mengunjungi pameran itu.
Ruang bawah tanah yang semula berfungsi menjadi gudang penyimpanan ini tak hanya berubah menjadi ruang pameran. Di area pameran tersebut, tampak sebuah gerbang menyerupai pintu masuk gua, bertuliskan Studio Lukis dan Kabuyutan Braga. Pintu ini begitu mengundang perhatian.
Saya mengintip perlahan. Di dalam gerbang itu, terdapat sebuah meja bilik dengan buku-buku arsitek yang memenuhi permukaannya. Ruangan bernuansa putih ini menyerupai sebuah kantor, hanya bedanya tak ada papan nama seperti kantor formal pada umumnya.
Seperti jalan rahasia, ruangan tersebut tersambung dengan gerbang berikutnya. Bagai mendapat durian runtuh, kejutan bertubi-tubi kembali memanjakan mata saya. Sesaat setelah saya keluar dari ruangan kantor itu, tampak sebuah area terbuka seluas 10 meter persegi. Di sudutnya, terdapat sebuah saung bambu berhiaskan meja pendek untuk lesehan.
“Kaget kan? Bahkan di sini ada area yang berbatasan dengan sungai lho,” ujar seorang pria berkemeja hitam dengan ramah. Ia mengajak saya untuk menaiki tribun bambu yang berada di pojok kiri area terbuka ini. “Di sini juga bisa jadi tempat pertunjukan,” tambahnya dengan senyuman tipis.
Tubagus Adi, demikian nama pria berkulit sawo matang ini. Profesi arsitek yang telah ia geluti sejak tahun 1997 ini membuatnya antusias berbincang perihal Jalan Braga.
“Jalan Braga itu merupakan area yang seksi,” ungkapnya tersenyum simpul. Menurut Adi, kawasan Braga dipenuhi oleh harta karun berharga, mulai dari bangunan kolonial hingga wilayah Kampung Braga.
“Sayangnya, nggak semua orang tahu tentang kisah Jalan Braga di masa lalu, bahkan ruang ini aja jarang yang tahu,” tambah pria berkulit sawo matang itu.
Keprihatinan itu berubah menjadi ide kreatif. Adi memiliki sebuah gagasan yang sedang ia rancang perlahan. Braga sebagai museum terbuka, itulah sebuah rencana yang ia bangun setahap demi setahap.
Dengan ide inilah, Adi dan beberapa rekannya berkumpul sebagai bentuk nyata kepedulian terhadap Jalan Braga dan masa lalunya ini. Sebagai bentuk aksinya, Adi memisahkan kegiatan aktivis ini menjadi dua, Museum Braga dan Kabuyutan Braga.
“Para aktivis bakal Museum Braga ini berasal dari berbagai macam bidang, ada yang arsitek, ahli lingkungan, desainer bahkan ahli budaya sekalipun,” ungkap Adi dengan logat Sunda yang kental.
Adi menuturkan, bahwa ia ingin membuat sebuah museum terbuka di Jalan Braga. Panel-panel sejarah mengenai satu bangunan ke bangunan yang lain, membuat alur museum ini begitu kental terasa. “Terakhirnya, hasil-hasil riset akan kami letakkan di area pameran bawah tanah ini,” ujar Adi bersemangat.
Pria yang mengaku sangat tergila-gila dengan bambu ini bahkan menciptakan kantor konsultan di area bawah tanah Rumah Seni Ropih. “Saya memindahkan kantor saya agar bisa merasakan sendiri rasanya tinggal di Jalan Braga, biar lebih menjiwai.” Tawa renyah terlontar dari mulutnya.
Selain Museum Braga, Adi juga menceritakan tentang sebuah kegiatan bernama Kabuyutan Braga. Menurutnya, terdapat warisan tak tertulis yang masih dipegang oleh masyarakat masa kini. Pamali (pantangan), tradisi hingga adat istiadat tetap terjaga dalam Kabuyutan Braga ini.
“Kabuyutan Braga ditujukan untuk berkomunikasi dengan warga sekitar, yang masih memegang prinsip sauyunan atau gotong royong,” Adi menceritakan konsep Kabuyutan Braga yang sudah berlangsung sekitar satu tahun ini.
Kelak, Kabuyutan Braga akan menjadi sebuah pusat berkumpul masyarakat Bandung yang sangat mencintai kebudayaan Sunda ini. Sedikit demi sedikit Adi dan beberapa rekannya menciptakan beberapa program yang menjunjung tinggi kesenian Jawa Barat. Salah satunya adalah penampilan musisi tradisional hingga kursus membuat alat musik bambu.
Dalam perkembangannya, Adi mengungkapkan bahwa ia banyak mendapat bantuan dari seniman Ropih. “Pak Ropih ini juga sama seperti saya, mencintai kesenian Sunda, terutama alat musik yang terbuat dari bambu, makanya beliau sangat antusias dengan ide Kabuyutan Braga ini.”
“Nantinya, tim Kabuyutan Braga dan Museum Braga akan berkumpul, berunding bersama-sama demi menciptakan sebuah kesepakatan mengenai Jalan Braga,” ungkap pria lulusan Arsitek Universitas Pendidikan Indonesia ini.
Ternyata kecintaan Adi terhadap Jalan Braga ini beranjak dari kaitannya yang erat dengan sejarah kota Bandung. Menurut sejarah, awalnya Braga hanyalah sebuah jalan tanah yg dikelilingi oleh hutan karet. Kemudian, pada tahun 1800an, seorang tuan tanah Priangan, Andries de Wilde, membuat jalur untuk mengangkut hasil bumi, terutama kopi. Tempat tujuannya adalah Koffie Pakhuis yang kini menjadi Gedung Balai Kota.
Kala itu, masyarakat menggunakan pedati (kar dalam bahasa Belanda) sebagai alat angkut umum. Tak heran bila area tersebut lebih dikenal sebagai Karrenweg atau Pedatiweg.
Asal mula nama Braga diduga diambil dari ketenaran Toneelvereeniging Braga, sebuah kelompok tonil dan musik yang didirikan Asisten Residen Priangan Pieter Sijthoff pada 1882. Selain itu, dalam Bahasa Sunda ditemukan istilah ngabaraga, yang berarti berjalan di sepanjang sungai. Istilah itu sangat cocok mencerminkan keadaan Pedatiweg yang berdampingan dengan Sungai Cikapundung.
Dalam perkembangannya, Jalan Braga menjadi ramai setelah para pengusaha Belanda mendirikan toko serta tempat hiburan di sana. Di sekitar abad ke-19, jajaran toko, butik dan restoran elit berdiri dengan apik di kawasan tersebut. Bahkan, terdapat salah satu butik bernama Au Bon Marche, yang mengambil model dari Paris, Perancis. Tak salah bila nama Parijs van Java menjadi julukan bagi ibukota Jawa Barat ini.
Selain butik, kala itu toko-toko elit lainnya berderet rapi di Jalan Braga. Toko Buku Djawa, toko Onderdil Belang – toko kain berkualitas impor – hingga toko mobil pertama Hindia Belanda, Fuchs & Rents, pernah berdiri di sana.
Pada masa itu, Rumah Seni Ropih yang menjadi tempat berkumpul Tubagus Adi dan rekan-rekannya ini merupakan toko jam Stocker. Hanya arloji dan jam buatan Swiss yang bisa ditemukan di sana. Tak heran bila toko milik dua orang berkebangsaan Swiss, H.P Stocker dan P.E Huber ini, berada dalam sebuah kawasan elit kota Bandung tempo dulu.
Braga menyimpan banyak cerita di masa lalu. Perbedaan cukup drastis terjadi. Toko-toko elit ini menghilang satu per satu. Jalan aspal ditutupi oleh paving block dengan keadaan yang mudah lepas. Seharusnya, kapasitas material ini hanya dilewati oleh kendaraan ringan seperti sepeda dan pejalan kaki. Namun, jalan Braga tetap menjadi sebuah jalan protokol. Antrian mobil selalu memadati kawasan ini pada siang dan malam hari.
Selain itu, minimnya pengetahuan sejarah tentang Braga membuat kunjungan masyarakat di jalan ini terasa hambar. Kebanyakan dari masyarakat awam hanya melihat Braga sebagai objek foto saja, tanpa mendalami kisah perjalanan dari jalan yang identik dengan kota Bandung ini. Bahkan, hanya sedikit orang yang mengetahui bahwa Braga memiliki ruang bawah tanah yang bisa dimanfaatkan seperti di Rumah Seni Ropih ini.
Kisah manis dan pahit ini lah yang membuat Adi tergerak untuk menciptakan sesuatu bagi Jalan Braga. “Kalau nunggu dari yang berwenang sih belum jadi-jadi aja, nggak ada salahnya kan kita berinisiatif sendiri, menyerang Braga dengan desain!” ungkap pria yang juga bekerja untuk konsultan arsitek Arsiplan ini.
Ya, siapa yang menyangka, ruang kosong yang dicampakkan sekian lama dapat menjadi sebuah ruang publik baru bagi masyarakat Bandung. Selain itu, ternyata ruang bawah tanah yang terkesan sempit dapat mencetuskan sebuah gagasan kreatif. Mungkin saja beberapa tahun lagi, Braga tak akan dikenal sebagai seonggok jalan biasa, tetapi sebagai sebuah museum terbuka.
-penceritahujan-
No comments:
Post a Comment